Home » » Dari Dewa Petir, Robot Masa Depan, Sampai Makhluk Purba Raksasa

Dari Dewa Petir, Robot Masa Depan, Sampai Makhluk Purba Raksasa

Written By Unknown on Jumat, 10 Oktober 2014 | 23.08

Baru-baru ini saya menonton tiga buah film dengan unsur excitement yang berbeda meskipun kesemuanya mempunyai style yang sama dalam memberikan hiburan kepada tiap penontonnya. Yang pertama adalah Thor : The Dark World. Film yang dirilis akhir tahun 2013 lalu ini merupakan sekuel dari film superhero milik Marvel yang terkenal dengan senjatanya berupa Palu berkekuatan petir. Sebagai sebuah sekuel, film yang bangku penyutradaraanya diambil alih oleh Alan Taylor dari Kenneth Branagh  itu bisa dibilang cukup berhasil. Berhasil dalam membuat penonton berdecak kagum dengan sentuhan visual effectnya yang gelap namun megah. Apalagi duel Thor dalam menghajar para penjahatnya kali ini berlangsung lebih banyak di dunianya (bukan di bumi). Namun sebagai sebuah karya, The Dark World tidak lebih dari film yang hanya memeberikan kepuasan sesaat saja. Ceritanya sangat dangkal dan kurang mendalam. Okelah, ini adalah film Marvel. Tapi film pertamanya sepertinya lebih menarik dan membekas, baik itu dari segi naskah ceritanya ataupun dari tampilan visualnnya. Sama seperti dengan Iron Man. Mungkin Sang Dewa Palu ini memang lebih berkesan jika disaksikan bergabung bersama rekan-rekannya dalam The Avengers. The Dark World jelas sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru, fresh, dan membius. Beruntung film ini diselamatkan oleh Performa Tom Hiddleston sebagai Loki dengan semua tingkah, dialog, dan gesturenya yang sangat luwes. Performa Hiddleson tersebut bahkan menutupi porsi sang villain, Malekith (Christopher Eccleston) yang anehnya tampil bak badut yang tidak lucu. Sementara Chris Hemsworth bermain terlalu tipikal sebagai Thor dengan segala aspek di bodynya yang sangat mendukung, maka Aktris peraih oscar Natalie Portman malah terkesan seperti tempelan saja. Kendatipun kali ini Jane Porter memegang peran yang cukup sentral, namun akibat lemahnya naskah dan pendalaman karakternya membuat waita tambatan hati sang pahlawan kita ini terasa mengganggu di sepanjang film. Jika ada yang bisa sedikit diapresiasi dari sekuelnya ini, mungkin adalah suguhan visualnya yang cukup memanjakan mata, apalagi tampilan Asgard yang lumayan indah dan megah itu. Jauh lebih agung dibandingkan di film pertamanya.



Jika The Dark world lebih unggul dari segi teknis visualnya, maka lain halnya dengan Edge of Tomorrow. Sebagai film yang bercerita di masa depan, Edge of  Tomorrow juga tidak munafik dengan menampilkan gambar-gambar yang mutakhir di jamannya. Di angkat dari Novel berjudul All You Need is Kill, film yang disutradarai oleh Doug Liman tersebut adalah salah satu sajian penuh ingar bingar yang didukung oleh script yang super cantik. Liman tau betul bagaimana membuat film yang akan memanjakan indera penglihatan sekaligus indera pendengaran tanpa berkesan membodohi para penonton dengan naskahnya yang memble. Ceritanya sedikit mengingatkan dengan film bergaya serupa seperti Vantage Point ataupun Source Code misalnya. Cuma, tempo Edge of Tomorrow ini bak mobil balap yang melesat cepat dalam menghadirkan adegan-adegan dan momen bertensi tinggi. Sejak Cage (Tom Cruise) bangun untuk pertama kalinya, film ini mengajak penonton dan juga Cage untuk semakin peduli dengan situasi yang tengah terjadi. Berpacu dengan waktu, kita seperti terlibat dalam rangkaian misi Cage yang penuh teka-teka dan kejutan. Sayangnya akibat ritme film ini yang terlalu ngoyo dari awal film membuat bagian akhir yang seharusnya bisa diklimakskan dengan maksimal serta adegan aksi yang lebih bombastis malahan tidak terjadi. Seperti seorang pelari jarak jauh yang tiba-tiba kehabisan nafas di putaran terakhir, Edge of Tomorrow juga menawarkan babak penyelesaian yang kurang menghentak. Cukup disayangkan apalagi semua bagian dari film ini sudah cukup pas tiap ukurannya. Termasuk pula di jajaran castnya. Sebagai aktor senior yang sudah puluhan kali bermain dalam film-film aksi sejenis ini, Tom Cruise memang tahu betul dalam membuat karakternya dekat di hati penonton. Jika fisiknya sudah cukup berhasil dalam menipu usianya, maka akting serta ekspresi mantan suami Katie Holmes ini adalah salah satu hal yang bisa diapresiasi dari film ini. Sementara bagi Emily Blunt yang kebagian memerankan wanita tangguh Rita Vratraski, mungkin film-film seperti inilah yang paling cocok buat aktris yang melejit setelah tampil bersama Meryl Streep dalam The Devil Wears Prada ini. Blunt mampu dan berhasil mengimbangi akting seorang Tom Cruise dengan sangat baik. Ia juga dengan gemilang mampu melakoni adegan-adegan aksi yang tidak kalah menegangkannya. Salah satu chemistry couple yang paling solid tahun ini setelah Ansel Elgort dan Shaileene Woodley melakukannya dalam The Fault in Our Stars sebelumnya. Terlepas dari kekeurangan pada endingnya yang agak dipaksakan, film yang naskahnya ditulis oleh Christopher McQuarrie ini adalah paket lengkap untuk sajian film laga berbasis masa depan yang mengandalakan naskah dan gaya penceritaan yang segar nan pintar.


Berbeda dengan Edge of Tomorrow, film terakhir yang saya tonton juga masih belum bisa disebut sebagai paket komplit. Godzilla, memang cukup menghibur secara visual melalui tampilan teknisnya yang totally awesome. Ini adalah film tentang monster yang dibuat dengan teknik CGI paling canggih di jamannya. Bahkan adegan pertarungan dua raksasa di belantara Amerika ini juga tidak kalah spektakulernya dengan adegan perkelahian King Kong dalam film garapan Peter Jackson. Seperti halnya King Kong, Godzilla juga merupakan sebuah remake, kalo memang tidak mau dikatakan sebagai remade. Sebagai sebuah remake, film yang dinahkodai oleh Gareth Edwards ini menawarkan deretan cast yang bisa dibilang sempurna. Siapa yang tidak 'nafsu' melihat Sally Hawkins, Ken Watanabe, David Strathairn, Juliette Binoche, dan si master mind Bryan "Walter White" Cranston dalam satu film. Apalagi aktor utama film ini diperankan oleh salah satu aktor muda paling panas saat ini, Aaron Taylor-Johnson. Dan ini adalah pertemuan pertama antara Aaron Johnson dengan Elisabeth Olsen sebelum di tahun 2015 nanti mereka berdua akan kembali berperan sebagai kembaran yang akan membombardir dunia film lewat The Avengers Age of Ultron. Sebagai Ford Brody, Johnson sendiri bermain tanpa cela, namun ini juga bukan peran terbaik seorang Aaron Johnson. dibandingkan dengan Anna Karenina dimana Johnson memaksimalkan emosi aktingnya, dalam Godzilla, aktor yang sempat gabung dalam Savages nya Oliver Stone ini cenderung bermain datar namun aman. Begitu pula dengan aktor dan aktris pendukung yang lain. Akibat porsi mereka yang memang harus mengalah dengan sang monster, maka Watanabe, Binoche, Hawkins, Strathairn, dan bahkan Cranston terlihat hanya sebatas pemanis saja. Tidak terlihat akting kelas oscar yang biasanya mereka tampilkan di setiap filmnya.
Pun demikian, untuk sebuah film tentang disarter yang menjual monster raksasa sebagai komoditas utamanya, Godzilla tidaklah terlalu mengecewakan. Dibandingkan Godzilla-nya Matthew Broderick yang digarap oleh Roland Emmerich di tahun 1998 lalu, Godzilla versi Gareth Edwards ini memang terasa lebih fantastis, baik itu dari ukuran, tampilan, maupun dari caranya bertarung. Edwards berhasil mengembalikan martabat salah satu makhluk predator purba tersebut ke level yang seharusnya dengan dukungan bagian visual effectnya yang canggih. Hal lain yang paling menarik adalah departemen musiknya. Alexander Desplat dengan piawainya mengisi tiap adegan yang menegangkan dengan baik melalui gubahan musiknya dari detik pertama cerita bergulir. Pun demikian, Godzilla juga masih punya banyak kelemahan. Selain alurnya yang nanggung tanpa gejolak konflik yang intens, ketidakefektifan para bintang-bintang papan atasnya, serta ceritanya yang kalau boleh dibilang terlalu propagandis. Amerika Serikat seakan-akan memang ingin menunjukkan betapa kekuatan militer merekalah yang paling digdaya, bahwa mereka bisa dengan semaunya sendiri menjatuhkan bom nuklir kapan saja tanpa mengindahkan akibat dan efek jangka panjangnya. Namun untuk sebuah film, bolehlah jika Godzilla di sebut sebagai film berbasis monster yang punya unsur excitement tertinggi sejak King Kong di tahun 2006 lalu.


VERDICT

Tho The Dark World
Naskah : 4/10
Akting : 5/10
Teknis : 6/10
Ending : 5/10
Keseluruhan : 5/10

Edge of Tomorrow
Naskah : 8/10
Akting : 6/10
Teknis : 6/10
Ending : 6/10
Keseluruhan : 7/10

Godzilla
Naskah : 5/10
akting : 5/10
Teknis : 6/10
Ending : 6/10
Keseluruhan : 6/10
Share this article :

0 komentar :

Postingan Populer

Random Post

 
Support : partner1 | partner2 | partner3
Copyright © 2013. MOVIE WORLD - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger