The Girls of
Novel feminis bernuansa picisan dari tanah Arab yang menceritakan kisah nyata secuil kehidupan masa muda empat orang gadis Arab dengan kultur yang jauh dari budaya masyarakat Arab kebanyakan. Diceritakan lewat rangkaian email yang dikirim secara rutin oleh pengarangnya setiap hari Jum’at ke berbagai komunit
as mailing list di Saudi Arabia, realita kehidupan Qamrah, Shedim, Lumeis, dan Michelle yang cenderung gelap dan pahit dibeberkan secara gamblang oleh Raja’a Al Sanea yang tak lain adalah sahabat dari keempat gadis Arab tersebut. Kisah cinta yang getir, pergaulan yang sedikit tabu, dan berbagai persoalan lain yang cenderung mendeskreditkan mereka sebagai wanita, membuat kisah dalam novel ini dilarang keras beredar di Negara asalnya, Arab Saudi.Terlalu feminis dan cenderung memojokkan kaum lelaki. Mungkin ungkapan tersebut sangat tepat ditujukan terhadap novel yang akhrinya menjadi internasional best seller ini. Bagaimana tidak, disepanjang kisahnya, sang penulis yang baru berusia 25 tahun itu terus menerus menyalahkan kaum pria sebagai penyebab menderitanya keempat gadis tersebut terutama dalam masalah cinta. Entah hal ini benar terjadi di Arab Saudi atau tidak, yang jelas apa yang dilakukan Al Sanea tersebut mendapat kecaman dari para pembacanya di internet yang menyebabkan novel ini akhirnya beredar secara gelap.
Sebagai seorang penikmat sastra amatiran, saya merasa sebenarnya tidak ada yang terlalu istemewa dari novel terbitan MQS Publishing ini, dan alur kisahnya juga cenderung lambat jika tidak mau dikatakan membosankan. Tapi entah kenapa desain cover yang sangat provocative dengan mencantumkan label “Kisah Nyata; Dilarang Keras Beredar di Arab Saudi” pastinya akan membuat siapa saja, termasuk saya, tertarik atau paling tidak membaca kilasan ceritanya yang ada di halaman belakang. Padahal, sejatinya novel ini hanya menceritakan sisi gelap dan mirip dengan cerita Jakarta Undercover dari empat kawanan gadis Arab di tengah kultur masyarakat Arab yang cukup ketat, yang sebenarnya hal tersebut sudah bukan sesuatu yang aneh dan tabu di berbagai Negara lain terutama di Indonesia. Dibandingkan dengan novel local Laskar Pelangi yang sangat inspiratif, novel setebal sekitar 500 halaman ini tidak ada apa-apanya, apalagi jika disandingkan dengan novel fenomenal kita, Ayat Ayat Cinta yang ‘membangun jiwa’ kisah picisan gelap yang cenderung sendu mendayu-dayu ini, sangat jauh ketinggalan
0 komentar :
Posting Komentar