Home » » American Racism : From Oscar Grant To Michael Brown

American Racism : From Oscar Grant To Michael Brown

Written By Unknown on Selasa, 19 Agustus 2014 | 08.58


Sebuah kasus tengah menjadi sorotan di negara Amerika Serikat dalam beberapa minggu terakhir ini. Berawal dari penembakan seorang remaja kulit hitam bernama Michael Brown yang berusia 18 tahun oleh salah seorang polisi setempat yang berkulit putih, membuat Ferguson, salah satu kota dari negara bagian Missouri dilanda oleh kerusuhan dan beberapa aksi protes di beberapa negara bagian Amerika yang lain. Dalam bentuk demonstrasi, mereka menuntut keadilan dan penghilangan tindak diskriminasi kepada warga kulit hitam. Michael sendiri ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan setelah dirinya ditembak di kepala dan dadanya. Sementara dari pihak kepolisian dan juga pemerintahan setempat sendiri berkilah bahwa aksi penembakan tersebut tanpa disengaja, karena Michael yang tengah ditangkap di dalam mobil akibat aksi penjarahan dan perampokan yang dilakukannya berusaha untuk melarikan diri dengan mencoba merebut pistol salah satu petugas polisi. Entah seperti apa kebenarannya, yang jelas kasus yang mencuat sejak 9 Agustus 2014 lalu ini telah membuat Presiden Amerika Serikat Barack Obama angkat bicara.
Cukup aneh memang. Di negara yang (katanya) paling demokratis sedunia serta (katanya) paling menjunjung tinggi hak asasi manusia, isu seputar rasis yang melanda kaum kulit hitam masih saja terus terjadi. Padahal Presiden negara tersebut merupakan orang berkulit hitam !
Sepertinya yang namanya keadilan dan penyetaraan derajat memang belum berlaku untuk orang-orang berkulit hitam (khususnya di Amerika) yang selalu mendapat stempel sebagai warga yang kriminalis, miskin, anarkis, dan bodoh. Meskipun tidak semuanya, tetapi kultur dan budaya negeri Paman Sam itu memang telah seperti itu dari dulu. Sudah banyak film yang mengangkat isu seputar rasisme yang mendiskreditkan warga kulit hitam.

Kisah penembakan Michael Brown di atas spontan mengingatkan saya pada sebuah film yang berjudul Fruitvale Station tahun 2013 lalu. Kebetulan film ini juga diangkat dari kejadian nyata yang terjadi di akhir tahun 2009, tepatnya di malam pergantian tahun. Waktu itu seorang pemuda bernama Oscar Grant yang tengah menghabiskan malam pergantian tahun bersama teman-temannya itu harus berurusan dengan polisi karena dianggap melanggar ketertiban dan mengganggu ketentraman setempat. Berawal dari kesalahpahaman dan keributan, sebuah peluru akhirnya keluar dari pistol seorang polisi dan tepat mengenai punggung Oscar yang sedang berbaring tengkurap. Kejadian yang berlangsung dalam hitungan detik tersebut akhirnya mengubah kehidupan Oscar, keluarga, teman-teman, serta masyarakat Oakland. Beberapa hari setelahnya, ribuan orang yang bersimpati melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan buat pemuda beranak satu tersebut. Meskipun sang penembak yang diketahui bernama Johannes Mehserle pada akhrinya dalam persidangan mengaku menyesal dan tidak sengaja melakukan penembakan tersebut, tetap saja Oscar Grant tidak mendapat keadilan pada saat kejadian itu berlangsung.
Frutivale Station menjadi debutan sutradara Ryan Cooglar di dunia film. Seperti kebanyakan film bergaya indie yang lain, Fruitvale Station bercerita dengan manis dan sederhana, sekaligus menyesakkan mengenai kehidupan Oscar sebelum kejadian nahas tersebut. Untuk sebuah kisah yang mengetengahkan isu seputar SARA, film yang memenangkan Independent Spirit Awards untuk kategori best first feature ini mempunyai sebuah klimaks bak bom nuklir yang meledak di akhir film. Bom tersebut tidak hanya meluluhlantakan hati para penontonnya, melainkan juga sebagai kartu Ace yang menyindir perlakuan pihak kepolisian Amerika terhadap kaum negro di negaranya.

Lain lagi dengan 12 Years a Slave. Film yang meraih piala oscar sebagai film terbaik tahun lalu ini memang sudah didesain untuk menceritakan betapa menderitanya warga kulit hitam yang hidup jauh sebelum konstitusi Amerika berdiri. Sama-sama diangkat dari kisah nyata, film yang disutradarai oleh Steve McQueen tersebut mengisahkan seorang bangsawan berkulit hitam yang diculik dan untuk kemudian diperjualbelikan sebagai budak. Dalam perjalanannya sebagai budak, pria bernama Solomon Northup itu menjadi saksi kekejaman atas bangsanya. Seperti halnya budak-budak yang lain, Solomon juga mendapat tindakan penyiksaan dan kekejaman dari majikannya yang semena-mena.
Entah disadari atau tidak, Hollywood memang kerap memasukkan unsur-unsur seputar rasis dalam film-film produksinya. Setahun sebelum 12 Years a Slave, muncul Django Unchained. Bahkan dalam film karya Quentin Tarantino itu, penyiksaan terhadap kaum negro lebih ekstrim lagi. Django Unchained memang dibuat dengan darah dimana-mana untuk menggambarkan rezim perbudakan yang keji, brutal, dan sadis.
Jauh sebelum ketiga film tersebut, Film-film yang mengangkat tema seputar rasisme dan diskriminasi khususnya kepada kaum kulit hitam sudah banyak sekali dibuat. Sineas kondang Stephen Spielberg bahkan pernah mengangkat dua buah film seputar rasis dengan tema dan pendekatan yang berbeda.


Share this article :

0 komentar :

Postingan Populer

Random Post

 
Support : partner1 | partner2 | partner3
Copyright © 2013. MOVIE WORLD - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger